Kamis, 25 Oktober 2012

Nikah Muda


Artikel yang saya buat adalah tentang nikah muda. Yang jadi pertanyaan petama, kenapa beberapa pasangan memutuskan untuk menikan muda? Padahal menurut saya menikah muda itu tidak gampang, dari mulai restu orangtua sampai menjalani kehidupan selanjutnya. Lalu kenapa mereka mau menikah muda? Yakin udah mampu secara materi dan psikologis? Yakin udah bisa hidup tanpa orangtua dan jadi orangtua?
Jika orangtua sudah merestui kita untuk menikah, itu artinya gerbang menuju kehidupan yang baru dan lebih baik sudah terbuka. Tapi tidak sedikit orangtua yang tidak mau membuka gerbang itu, bahkan mengunci rapat-rapat. Alasannya banyak, ada yang bilang si calon menantu harus kerja lah, harus mapan lah, harus ganteng lah. Sebenarnya si calon menantu itu tidak sesuai dengan keinginannya. Ya, namanya juga orangtua  pasti ingin yang terbaik untuk anaknya

Restu sudah ditangan, saatnya merencanakan pesta pernikahan. Pertanyaan klasik dari orangtua adalah “kamu punya tabungan berapa?”. Untuk orang yang menganggap sakral pernikahan pasti punya prisnsip, pernikahan itu sekali seumur hidup. Jadi banyak dari mereka yang beranggapan begitu pasti ingin momen pernikahannya berkesan kadang terkesan mewah. Budget adalah faktor utama untuk mereka yang ingin merayakan pesta pernikahannya dengan mewah. Mereka yang menikah muda, apa punya prinsip yang seperti itu? tapi apa mereka punya dana yang cukup? Dana itu pun tidak hanya digunakan untuk pesta pernikahan, tapi juga untuk masa depan. Apa tabungan mereka cukup untuk biayai hidup mereka selanjutnya? Itu bisa jadi pertimbangan pertama.

Selanjutnya setelah acara pernikahan, atau saat menjalani kehidupan berumahtangga. Persiapannya juga sama seperti pranikah. Biaya kehidupan dan mental termasuk faktor yang harus disiapkan untuk berumah tangga. Untuk biaya kehidupan, seperti bangun rumah sendiri atau bayar kontrakan. Bu Amel bilang, adat orang batak kalau sudah menikah harus angkat kaki dari rumah orangtua setelah pesta pernikahan selesai. Lagi pula tidak selamanyakan kita numpang dirumah orangtua. Tidak hanya biaya rumah, tapi juga air, listrik, dan juga telepon jika ada. Biaya semacam itu tidak sekali dua kali dibayar, tetapi rutin tiap bulan. Bayangkan, kalau calon suami kita siap sacara mental tapi tidak secara materi, itu hukumnya makruh dalam agama Islam. Dan yang ini, bisa jadi pertimbangan kedua. 

Mental, sangat utama. Menurut pantauan yang saya lakukan terhadap orang-orang yang dilingkungan saya, sekitar 70% pasangan yang menikah muda belum siap mental. Sebagai contoh, suatu hari saya mengunjungi warnet langganan saya untuk mengerjakan tugas. Diwarnet tersebut tidak ada sekat, jadi kita bisa lihat apa yang dilakukan pengunjung warnet tersebut. Ada seorang perempuan, jika saya taksir umurya sekitar 22-23 tahun. Dia tidak sendiri, dia datang kewarnet itu dengan anak kecil yang saya kira adalah adiknya, tapi ternyata itu adalah anaknya. Anaknya sekitar 3-4 tahun. Ideal umur perempuan untuk menikah sekitar 20-25 tahun. Jika dihitung, perempuan yang saya temui diwarnet itu, menikah pada umur 20 tahun. Memang ideal, tapi balik lagi pada maslaah mental.

Yang sangat terlihat jika perempuan itu belum siap mental untuk menikah, pada saat saat anaknya menangis ingin pulang. Bukannya menuruti apa yang diminta si anak, perempuan tersebut malah memarah-marahi anaknya, dan dia juga asik bermain dengan komuter yang ada didepannya. Anaknya tidak diperdulikan perempuan itu. Itu tandanya, si perempuan masih ingin bermain, masih ingin bersenang-senang disaat sia sudah punya anak. Saya cukup miris melihatnya, kasian jika begini anak dan orangtua pasangan lah yang jadi korban kelabilan ibu atau ayahnya yang belum siap mental untuk menikah.

Untuk remaja seperti anak SMK dan SMA rawan dengan nikah muda. Kebanyakan kasusnya adalah si perempuan sudah berbadan dua. Mau tidak mau si laki-laki harus bertanggungjawab dengan manikahi si perempuan. Disinilah letak permasalahannya. Jika laki-laki sudah mapan dan siap untuk berumah tangga, nasib baik si perempuan. Tetapi bagaimana jika sebaliknya, laki-laki itu masih sekolah, belum punya penghasilan, belum siap untuk punya menikah, punya anak dan sebagainya. Dan masih untung jika orangtua keduanya mau menampung mereka. jika tidak, mau tinggal dimana mereka? mungkin mereka bisa jadi gelandangan.

Balik lagi ke masalah kehidupan berumahtangga. Tidak siapnya mental pasangan yang menikah muda akan meimbulkan sikap labil, keegoisan, dan masa muda yang kurang bahagia. Kadang kekerasan dalam rumah tangga menjadi permasalahan selanjutnya. Perang kata-kata, istri yang sering dipukul, dimarahi, dimaki-maki, dianiaya, bahakan sampai ada yang dibunuh. Mengerikan! Kadang ada orangtua yang sengaja atau tidak sengaja berkelahi atau berkelahi didepan anak mereka yang masih kecil. Itu akan merusak mental si anak.
  
Faktor menikah muda cukup banyak, dari orangta itu sendiri yang memang menginginkan anak perempuannya menikah muda dengan alasan takut jadi perawan tua, ada juga dari pergaulan. Pergaulan adalah faktor yang berbahaya jika remaja itu sendiri tidak pandai mencari teman sebaya yang bisa membawa dia ke jalan yang positif. Misalnya dia bergaul dengan anak-anak berandal, dikenalkanlah dia dengan seorang laki-laki yang juga berandal, berpacaran, seks bebas dan hamil diluar nikah. Temannya yang lain pun juga menagalami kasus yang sama.

Ini ancaman bagi remaja. Seharusnya mereka bisa belajar sampai tamat, kuliah kerja dan menikmati masa mudanya. Tapi dengan kesenangan sesaat hancurlah kesengangan yang lebih berharga dimasa mendatang. Kerja sama dari orangtua, anak, teman sebaya, dan guru bisa membantu mengurangi jumlah angka menikah muda, kekerasan, seks bebas, sampai kemiskinan. Pesan dari saya untuk para remaja putri, jaga kehormatan kalian, itu aset yang tak ternilai yang akan membawa kalian pada kehidupan masa depan yang indah. Semoga ini tidak terjadi kepada saya, kalian, atau teman-teman kalian.