Artikel
yang saya buat adalah tentang nikah muda. Yang jadi pertanyaan petama, kenapa
beberapa pasangan memutuskan untuk menikan muda? Padahal menurut saya menikah
muda itu tidak gampang, dari mulai restu orangtua sampai menjalani kehidupan
selanjutnya. Lalu kenapa mereka mau menikah muda? Yakin udah mampu secara
materi dan psikologis? Yakin udah bisa hidup tanpa orangtua dan jadi orangtua?
Jika
orangtua sudah merestui kita untuk menikah, itu artinya gerbang menuju
kehidupan yang baru dan lebih baik sudah terbuka. Tapi tidak sedikit orangtua
yang tidak mau membuka gerbang itu, bahkan mengunci rapat-rapat. Alasannya
banyak, ada yang bilang si calon menantu harus kerja lah, harus mapan lah,
harus ganteng lah. Sebenarnya si calon menantu itu tidak sesuai dengan
keinginannya. Ya, namanya juga orangtua
pasti ingin yang terbaik untuk anaknya
Restu
sudah ditangan, saatnya merencanakan pesta pernikahan. Pertanyaan klasik dari
orangtua adalah “kamu punya tabungan berapa?”. Untuk orang yang menganggap
sakral pernikahan pasti punya prisnsip, pernikahan itu sekali seumur hidup.
Jadi banyak dari mereka yang beranggapan begitu pasti ingin momen pernikahannya
berkesan kadang terkesan mewah. Budget adalah faktor utama untuk mereka yang
ingin merayakan pesta pernikahannya dengan mewah. Mereka yang menikah muda, apa
punya prinsip yang seperti itu? tapi apa mereka punya dana yang cukup? Dana itu
pun tidak hanya digunakan untuk pesta pernikahan, tapi juga untuk masa depan.
Apa tabungan mereka cukup untuk biayai hidup mereka selanjutnya? Itu bisa jadi
pertimbangan pertama.
Selanjutnya
setelah acara pernikahan, atau saat menjalani kehidupan berumahtangga.
Persiapannya juga sama seperti pranikah. Biaya kehidupan dan mental termasuk
faktor yang harus disiapkan untuk berumah tangga. Untuk biaya kehidupan,
seperti bangun rumah sendiri atau bayar kontrakan. Bu Amel bilang, adat orang
batak kalau sudah menikah harus angkat kaki dari rumah orangtua setelah pesta
pernikahan selesai. Lagi pula tidak selamanyakan kita numpang dirumah orangtua.
Tidak hanya biaya rumah, tapi juga air, listrik, dan juga telepon jika ada.
Biaya semacam itu tidak sekali dua kali dibayar, tetapi rutin tiap bulan.
Bayangkan, kalau calon suami kita siap sacara mental tapi tidak secara materi,
itu hukumnya makruh dalam agama Islam. Dan yang ini, bisa jadi pertimbangan
kedua.
Mental,
sangat utama. Menurut pantauan yang saya lakukan terhadap orang-orang yang
dilingkungan saya, sekitar 70% pasangan yang menikah muda belum siap mental.
Sebagai contoh, suatu hari saya mengunjungi warnet langganan saya untuk
mengerjakan tugas. Diwarnet tersebut tidak ada sekat, jadi kita bisa lihat apa
yang dilakukan pengunjung warnet tersebut. Ada seorang perempuan, jika saya
taksir umurya sekitar 22-23 tahun. Dia tidak sendiri, dia datang kewarnet itu
dengan anak kecil yang saya kira adalah adiknya, tapi ternyata itu adalah
anaknya. Anaknya sekitar 3-4 tahun. Ideal umur perempuan untuk menikah sekitar
20-25 tahun. Jika dihitung, perempuan yang saya temui diwarnet itu, menikah
pada umur 20 tahun. Memang ideal, tapi balik lagi pada maslaah mental.
Yang
sangat terlihat jika perempuan itu belum siap mental untuk menikah, pada saat
saat anaknya menangis ingin pulang. Bukannya menuruti apa yang diminta si anak,
perempuan tersebut malah memarah-marahi anaknya, dan dia juga asik bermain
dengan komuter yang ada didepannya. Anaknya tidak diperdulikan perempuan itu.
Itu tandanya, si perempuan masih ingin bermain, masih ingin bersenang-senang
disaat sia sudah punya anak. Saya cukup miris melihatnya, kasian jika begini
anak dan orangtua pasangan lah yang jadi korban kelabilan ibu atau ayahnya yang
belum siap mental untuk menikah.
Untuk
remaja seperti anak SMK dan SMA rawan dengan nikah muda. Kebanyakan kasusnya
adalah si perempuan sudah berbadan dua. Mau tidak mau si laki-laki harus
bertanggungjawab dengan manikahi si perempuan. Disinilah letak permasalahannya.
Jika laki-laki sudah mapan dan siap untuk berumah tangga, nasib baik si
perempuan. Tetapi bagaimana jika sebaliknya, laki-laki itu masih sekolah, belum
punya penghasilan, belum siap untuk punya menikah, punya anak dan sebagainya.
Dan masih untung jika orangtua keduanya mau menampung mereka. jika tidak, mau
tinggal dimana mereka? mungkin mereka bisa jadi gelandangan.
Balik
lagi ke masalah kehidupan berumahtangga. Tidak siapnya mental pasangan yang
menikah muda akan meimbulkan sikap labil, keegoisan, dan masa muda yang kurang
bahagia. Kadang kekerasan dalam rumah tangga menjadi permasalahan selanjutnya. Perang
kata-kata, istri yang sering dipukul, dimarahi, dimaki-maki, dianiaya, bahakan
sampai ada yang dibunuh. Mengerikan! Kadang ada orangtua yang sengaja atau
tidak sengaja berkelahi atau berkelahi didepan anak mereka yang masih kecil.
Itu akan merusak mental si anak.
Faktor
menikah muda cukup banyak, dari orangta itu sendiri yang memang menginginkan
anak perempuannya menikah muda dengan alasan takut jadi perawan tua, ada juga
dari pergaulan. Pergaulan adalah faktor yang berbahaya jika remaja itu sendiri
tidak pandai mencari teman sebaya yang bisa membawa dia ke jalan yang positif. Misalnya
dia bergaul dengan anak-anak berandal, dikenalkanlah dia dengan seorang
laki-laki yang juga berandal, berpacaran, seks bebas dan hamil diluar nikah.
Temannya yang lain pun juga menagalami kasus yang sama.
Ini
ancaman bagi remaja. Seharusnya mereka bisa belajar sampai tamat, kuliah kerja
dan menikmati masa mudanya. Tapi dengan kesenangan sesaat hancurlah kesengangan
yang lebih berharga dimasa mendatang. Kerja sama dari orangtua, anak, teman
sebaya, dan guru bisa membantu mengurangi jumlah angka menikah muda, kekerasan,
seks bebas, sampai kemiskinan. Pesan dari saya untuk para remaja putri, jaga
kehormatan kalian, itu aset yang tak ternilai yang akan membawa kalian pada
kehidupan masa depan yang indah. Semoga ini tidak terjadi kepada saya, kalian,
atau teman-teman kalian.